Jangan Pacari Kakakku

Senin, 16 Oktober 2023 09:43 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rini nggak mau Lusy jatuh cinta pada Andre, lalu dirinya memanggil sahabatnya itu kakak ipar? No way! Nggak boleh dan itu nggak akan terjadi. Pokoknya, nggak boleeeehhh!!

“Ayo, dong, Rin. Sekali saja,” rengek Lusy kayak anak kecil minta es krim.

“Kali lain saja, deh!” sahut Rini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Aku kan nggak mau berbuat macam-macam sama kamu? Aku cuma pengin main ke rumahmu. Katanya, kamu punya kakak yang cakep, yang mahasiswa arsitektur. Kenalin, dong?”

Rini melotot. Itulah alasan krusial mengapa dia melarang Lusy main ke rumah. Andre itu playboy cap Petruk, yang ibarat kata, hidungnya memanjang kalau lihat cewek cantik. Pacar Andre bejibun, berganti-ganti.

“Nggak boleh, titik!” sahut Rini ngotot.

Kalau Lusy pacaran sama Andre, lalu Andre ganti pacar, kemudian Lusy patah hati, lalu Lusy menyalahkan Rini, kemudian hubungan persahabatan mereka renggang, lalu, kemudian, lalu, kemudian .... Itu kecemasan yang wajar, bukan?

Tapi dasar Lusy, turunan pengusaha yang suka main terobos dan terabas demi mencapai tujuan. Suatu sore dia datang ke rumah Rini dengan Baleno silver-nya. Celaka pula, saat itu Andre sedang main gitar di teras.

“Aduh, Rini lagi pergi, tuh?”

“Siapa bilang Rini pergi?” Tiba-tiba Rini sudah nongol di pintu. Andre menyeringai dan menggaruk kepala, ketahuan mau memanfaatkan situasi.

Rini menarik Lusy ke kamarnya, lalu menginterogasi sohib kentalnya itu, yang pipi putihnya menyemburatkan rona merah dan bibirnya menyisakan sipu.

“Ngapain kamu ke sini?” Rini langsung menyerang.

Lusy senyum-senyum sendiri. “Mau ketemu kakakmu. Kakak kamu cakep, ya, Rin?” katanya.
Rini menelan geram. Kecemasan mahasiswi Manajemen semester 2 itu terwujud. Lusy terpikat sama Andre. Entah dapat pelet dari mana kakaknya yang gokil itu selalu digilai cewek-cewek.

“Suara kakakmu bagus. Kayak Baim.”

“Baim siapa? Udah, deh, jangan ngaco! Mending kita cabut, makan cilok di Kafe Gemes!”

Serta merta, Rini menyeret Lusy ke luar kamar.

Malam tiba, Andre bermanis muka menemui Rini yang sedang duduk mengahap laptop di kamar.

“Rin, teman kamu yang bawa Baleno itu siapa namanya?”

“Memang kenapa?” Aih, ketus nian jawaban Rini. Tapi, Andre nggak mundur.

“Cantik, ya?”

Rini sudah tahu arah pembicaraan Andre.

“Memang Lusy itu cantik.Tapi dia nggak bakalan mau jadi pacar Kak Andre!”

“Mengapa begitu?”

“Karena Kak Andre playboy. Lusy pasti lari duluan!”

“Kata siapa?”

“Kata bulan, laut, dan rumput yang bergoyang!”

“Memang bulan bisa ngomong? Laut bisa bicara? Rumput yang bergoyang bisa bersuara?”

“Dasar kuper! Nggak kenal sastra!”

“Biarin, yang penting cakep.”

Rini mendengus kesal. Konsenterasinya membuat cerpen, buyar sudah.

“Aku janji, Lusy akan jadi cinta terakhirku ....”

Ucapan Andre terhenti oleh teriakan histeris Rini.

“Nggak bisa! Nggak bisaaaa .....”

Tidak bisa tidak, Rini harus jelaskan kalau dia nggak rela Lusy pacaran dengan Andre. Rini nggak mau harus memanggil kakak ipar pada Lusy. Sebelum itu terjadi, Rini harus mencegahnya sejak dini.

“Cari Lusy? Sebentar, saya panggilkan.”

Rini terpana pada senyum cowok yang duduk di teras rumah Lusy, sedang main gitar. Rini berdiri terpaku. Kemarahan di hatinya luruh, berganti gemuruh mendebarkan.

Ketika Lusy muncul, spontan mencuatlah pertanyaan dari sepasang bibir tipis Rini. “Siapa tadi, Lus? Suaranya bagus, kayak Afghan.”

Lusy tersenyum.

“Dia Kak Benny. Kakakku,” kata Lusy.

“Kakak?” sahut Rini, kaget.

“Aku, kan, pernah cerita kalau papaku punya empat istri. Kak Benny itu anak dari istri pertama, aku anak dari istri kedua. Sementara dari istri ketiga, dan istri keempat, papa punya ....”

Rini nggak mendengar kalimat Lusy berikutnya. Pikirannya dipenuhi sosok berkulit putih, hidung mancung, dagu berbelah, dan senyum menawan hati.

“Kenalin, dong,” ucapan itu terlontar spontan dari bibir Rini.

Senyum Lusy kembali mengembang mendengar permintaan Rini. Lusy mengangguk dan sebelum memanggil kakak tirinya itu, dia berbisik, “Kak Benny belum punya pacar.”

Rini tertegun, dadanya berdesir. Benarkah sosok ganteng itu masih single? Itu kabar baik. Tapi, hoi, di mana kemarahan yang akan kamu ledakkan itu, Rini? Entahlah, mungkin sudah ditelan matahari senja.

Gemuruh di hati Rini makin menggema, bahkan serasa merasuki darah dan menjalar ke sekujur tubuhnya. Dada berdegup, wajah menghangat, tubuh gemetar; inikah cinta? Tapi, Benny itu kakak Lusy? Ah, mana Rini ingat itu.

Lusy mendekat ke telinga Rini.

“Lantas, siapa di antara kita yang harus panggil kakak?” bisik Lusy, tersenyum penuh kemenangan.
***SELESAI*** 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Sulistiyo Suparno

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Menari Bersama Bidadari

Sabtu, 21 Oktober 2023 13:57 WIB
img-content

Jangan Pacari Kakakku

Senin, 16 Oktober 2023 09:43 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua